Amini, seorang perempuan Kurdi-Iran berusia 22 tahun, meninggal pada September 2022 setelah ditahan oleh polisi moralitas rezim yang terkenal kejam dan dibawa ke “pusat pendidikan ulang”, diduga karena tidak mematuhi kode berpakaian konservatif negara itu.
Meskipun tidak secara resmi dibubarkan, sebagian besar polisi moralitas mundur setelah protes tahun lalu, yang secara bertahap berkurang. Awal bulan ini, juru bicara kepolisian Jenderal Saeed Montazerolmahdi mengatakan polisi moralitas akan kembali memberi tahu dan kemudian menahan perempuan yang tertangkap tanpa hijab di depan umum.
Hijab telah lama menjadi titik pertikaian di Iran. Hijab dilarang pada 1936 selama emansipasi perempuan pemimpin Reza Shah, sampai penggantinya mencabut larangan tersebut pada 1941.
Pada 1983, hijab wajib digunakan setelah shah terakhir digulingkan dalam Revolusi Islam 1979. Iran secara tradisional menganggap Pasal 368 hukum pidana Islamnya sebagai undang-undang hijab, yang menyatakan bahwa mereka yang melanggar aturan berpakaian menghadapi hukuman antara 10 hari hingga dua bulan penjara, atau denda antara 50.000 hingga 500.000 rial Iran atau setara Rp17 ribuan hingga Rp179 ribu.
RUU baru akan mengklasifikasikan kembali kegagalan untuk mengenakan hijab sebagai pelanggaran yang lebih berat, dapat dihukum dengan hukuman penjara lima sampai 10 tahun serta denda yang lebih tinggi hingga 360 juta rial Iran (Rp128 juta). Denda itu jauh melebihi apa yang dapat dibayar rata-rata orang Iran, karena jutaan orang berada di bawah garis kemiskinan, kata Hossein Raeesi, seorang pengacara hak asasi manusia Iran dan asisten profesor di Universitas Carleton di Ottawa, Kanada, kepada CNN.